Budaya dan tradisi lokal untuk mengenalkan Islam agar mudah diterima, termasuk melalui kuliner lokal.
Awal mulanya masyarakat lokal sudah memiliki kebiasaan menggantungkan ketupat di depan pintu rumah yang dipercaya mendatangan keberuntungan. Sunan Kalijaga mengubah tradisi itu dan menjadikan ketupat sebagai sajian bernuansa islami untuk menghilangkan unsur-unsur klenik yang mengikatnya.
Ketupat sendiri bagi masyarakat Jawa memiliki filosofi yang kuat. Bentuk ketupat melambangkan perwujudan kiblat papat limo pancer. Maksudnya adalah sebagai keseimbangan alam dalam empat arah mata angin utama, timur, selatan, barat, dan utara. Meskipun memiliki empat arah, namun hanya ada satu kiblat atau pusat.
Keempat sisi ketupat ini diasumsikan sebagai empat macam nafsu yang dimiliki manusia yang dikalahkan dengan berpuasa. Oleh karenanya, jika makan ketupat sendiri bisa diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengalahkan empat nafsu duniawi.
Di dalam filosofi Jawa, ketupat bukan lagi sekadar hidangan khas raya Lebaran, tapi memiliki makna yang mendalam. Ketupat atau kupat dalam bahasa Jawa merupakan kependekan dari Ngaku Lepat dan Laku Papat.
Ngaku lepat artinya mengakui kesalahan. Ngaku lepat ini merupakan tradisi sungkeman yang menjadi implementasi mengakui kesalahan (ngaku lepat) bagi orang Jawa. Prosesi sungkeman yakni bersimpuh di hadapan orangtua seraya memohon ampun, dan ini masih menjadi tradisi hingga saat ini.